Ilmu Pengetahuan Sosial atau lebih populer
disebut IPS sudah tidak asing lagi bagi kalangan pelajar sejak Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas. Banyak orang yang memandang IPS sebelah mata dan
dianggap lebih rendah atau tidak lebih baik dari IPA sehingga kurang diminati
oleh para pelajar, khususnya siswa siswi SMA yang hendak memilih jurusan. Maka
tak heran jika jumlah siswa IPS selalu lebih sedikit daripada siswa IPA.
Berdasarkan data yang didapat dari salah satu situs SMA di Jember mengatakan
bahwa kebanyakan siswa memilih jurusan IPA karena faktor gengsi walaupun
sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, jurusan IPA dianggap
lebih luas dari IPS, salah satunya jika hendak masuk perguruan tinggi dari
jurusan IPA bisa mengambil jurusan IPS tetapi tidak berlaku sebaliknya. Entah
dari mana pemikiran yang mengatakan IPS itu lebih “sempit”. Sebenarnya antara IPA dan IPS
memiliki peran masing-masing yang sangat penting bagi kehidupan. Tidak ada yang
lebih baik diantara kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut, baik atau tidaknya
tergantung dari individu masing-masing bagaimana kemampuan dan kemauan untuk
belajar.
Jika dikaji lebih dalam, Ilmu Pengetahuan Alam
lebih mengarah kepada kemampuan Hard Skill, sedangkan Ilmu Pengetahuan
Sosial diarahkan untuk pengembangan Soft Skill. Menurut L.H. Clark
(1983) bahwa titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat
memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatan interaksi antar
manusia, dan diarahkan agar dapat menjadi manusia yang produktif dan dapat
berkontribusi dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, Arthur G. Binning dan
David H. Binning (1982) mengatakan bahwa studi sosial adalah mata pelajaran
yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan organisasi masyarakat manusia
dan manusia sebagai anggota dari kelompok sosial.
Berdasarkan pernyataan tersebut, telah jelas
bahwa studi sosial sangat erat kaitannya dengan soft skill sebagai salah
satu kemampuan manusia yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Sosial adalah perpaduan dari berbagai ilmu
sosial, yaitu sejarah, geografi, antropologi, ekonomi, politik dan psikologi
sosial (Prof. Nasution, 1975).
Tanpa disadari sebenarnya Ilmu Pengetahuan
Sosial sudah mencakup seluruh aspek dalam kehidupan terutama dalam konteks
lingkungan sosial, dan sedikit menyinggung aspek lingkungan dalam kajian ilmu
geografi yang notabene tergolong ke dalam Ilmu Pengetahuan Sosial. Manfaat lain
dari IPS adalah bagi perencanaan dan pembangunan wilayah. Seringkali masyarakat
mendefinisikan pembangunan merupakan pembangunan fisik yang terlihat jelas
secara konkrit. Padahal jika mengkaji makna pembangunan lebih dalam, dapat
didefinisikan bahwa pembangunan adalah suatu upaya untuk merubah keadaan yang
tidak ada menjadi ada, kecil menjadi besar, tertinggal menjadi maju dan
sebagainya yang diartikan secara dinamis untuk mencapai keadaan yang lebih
baik. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai
`suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak
secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya
yang paling manusiawi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nugroho dan Rochmin Dahuri
(2004).
Berbicara soal
pembangunan, tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi atau aspek fisik saja.
Perlu juga memperhatikan aspek sosial untuk mengetahui dampak sosial apa yang
akan berpengaruh dan mempengaruhi dalam pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa studi sosial mencakup semua bidang yang berkaitan dengan
sosial. Termasuk didalamnya adalah manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam
pembangunan.
Manusia sebagai subjek
memiliki peran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap kegiatan
pembangunan. Sedangkan manusia sebagai objek merupakan sasaran pembangunan,
dalam hal ini dapat dicontohkan seperti program pengembangan masyarakat.
Pengembangan masyarakat
adalah sebuah proses terencana dan terorganisir dan upaya yang memungkinkan
orang memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan, sikap, dan keterampilan sehingga
mereka dapat mengatur dan ikut serta dengan orang lain dalam upaya mengatasi
berbagai masalah masyarakat. Pendapat ini dipaparkan oleh Gales (1981).
Pengembangan masyarakat merupakan salah satu terapan dari Ilmu Pengetahuan
Sosial yang mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan
sosial. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
masyarakat, dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pengembangan soft skill.
Dengan dilaksanakannya
pengembangan masyarakat ini diharapkan mereka (masyarakat) tidak hanya
mengetahui teori atau konsep saja, tetapi juga dapat menerapkannya dalam
kehidupan dengan cara melibatkan diri langsung pada kegiatan-kegiatan sosial
masyarakat.
Pendidikan formal saja
tidak cukup untuk mengukur keberhasilan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Nilai akademis bukanlah tolak ukur untuk mengetahui kemampuan siswa di
lingkungan sekolah atau masyarakat yang lebih luas. Tidak ada seorang pun yang
menanyakan nilai rapor atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) ketika terjun
langsung di dalam kehidupan masyarakat. Nilai akademis tersebut biasanya hanya
digunakan sebagai prasyarat untuk memasuki dunia kerja secara formal. Padahal
disamping itu kehidupan bermasyarakat tidak kalah penting, bukan nilai akademis
yang menjadi acuan melainkan norma-norma kehidupan serta kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki. Bukan pula gelar atau jabatan. Dalam kehidupan
bermasyarakat tidak memandang gelar atau jabatan, tetapi yang jauh lebih
penting adalah bagaimana kontribusi terhadap kegiatan masyarakat dalam konteks pembangunan.
Perlu disadari bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat tidaklah etis jika bersikap individualisme. Khususnya
masyarakat di perkotaan yang begitu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing
sehingga menyebabkan kurangnya interaksi sosial terutama di lingkungan tempat
tinggal.
Harkat dan martabat bangsa
tidak tercermin dari seberapa banyak masyarakat yang “pintar”, melainkan
seberapa banyak masyarakat yang “sadar”. Pintar seringkali dikaitkan dengan
pendidikan yang tinggi serta nilai akademis yang bagus. Banyak yang
bercita-cita ingin sukses dan pintar, tetapi itu semua hanya menjadi asa belaka
ketika biaya pendidikan yang mahal harus menghentikan mimpinya. Sehingga muncul
persepsi bahwa pendidikan formal hanya dapat dirasakan oleh orang-orang “kaya”
saja, maka tak heran jika banyak siswa putus sekolah karena tak sanggup
membayar biaya sekolah. Kejadian semacam ini sering terjadi di daerah-daerah
terpencil, tetapi tak sedikit juga siswa di daerah perkotaan yang putus
sekolah.
Disadari atau tidak,
persepsi tersebut justru merupakan upaya tersirat untuk membatasi kemampuan
diri. Mereka yang putus sekolah seolah-olah memandang dirinya tak mampu menjadi
pintar karena tak sanggup membayar biaya pendidikan yang dirasa mahal. Padahal
untuk mencari ilmu sebenarnya tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, karena
sesungguhnya ilmu pengetahuan itu bisa didapat melalui apapun dan bagaimanapun,
tidak harus dengan sekolah formal. Namun bukan berarti sekolah formal itu tidak
penting, tetapi hanya ingin mengubah persepsi khususnya bagi mereka yang putus
sekolah agar tidak pesimis untuk tetap melanjutkan dan mewujudkan cita-citanya.
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa salah satu cerminan harkat dan martabat bangsa adalah seberapa
banyak masyarakatnya yang sadar. Maksud masyarakat yang sadar disini adalah
bukan hanya sadar secara fisik, tetapi sadar secara psikologis sosial.
Kesadaran psikologis sosial erat kaitannya dengan kehidupan sosial dan
bermasyarakat, karena manusia hidup di bumi saling ketergantungan dan tidak
bisa hidup seorang diri. Maka dari itu, sangatlah penting melakukan interaksi
sosial guna menjalin hubungan bermasyarakat untuk kelangsungan hidup. Perilaku
sosial dapat menentukan seberapa besar tingkatan harkat dan martabat bangsa.
Percuma saja berpendidikan tinggi tetapi tidak mendidik. Salah satu contohnya
bisa dilihat di kalangan pejabat pemerintahan di atas sana, mereka yang
melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah orang-orang pintar dan
berpendidikan tetapi tidak mendidik. Hal ini membuktikan bahwa harkat dan
martabat bangsa tidak tercermin dari orang “pintar” berpendidikan semata.
Beda halnya antara
“berpendidikan” dan “mendidik”. Setiap orang bisa saja mengejar pendidikan
setinggi-tingginya, tapi tidak semua orang bisa mendidik. Ini merupakan salah
satu manfaat Ilmu Pengetahuan Sosial yang didalamnya menyajikan aspek-aspek
penting dalam kehidupan atau dapat dikatakan sebagai “Ilmu Mendidik” bukan
sekedar memberi materi.
Disinilah cerminan harkat
dan martabat bangsa yang sesungguhnya, bangsa yang baik bukanlah bangsa yang
berpendidikan tinggi, melainkan bangsa yang dapat mendidik dan mecerdaskan anak
bangsa. Sehingga tidak perlu lagi beranggapan bahwa pendidikan itu mahal,
karena semua orang berhak mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan berbagi ilmu
dengan siapapun tanpa ada batasan secara formal.
*Karya Devki Firmansyah
*pernah dilombakan dalam kompetisi esai FIPS UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar