monggo cari yang ingin anda baca

Rabu, 06 November 2013

IPS sebagai ‘Ilmu Mendidik’ Bangsa

Ilmu Pengetahuan Sosial atau lebih populer disebut IPS sudah tidak asing lagi bagi kalangan pelajar sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Banyak orang yang memandang IPS sebelah mata dan dianggap lebih rendah atau tidak lebih baik dari IPA sehingga kurang diminati oleh para pelajar, khususnya siswa siswi SMA yang hendak memilih jurusan. Maka tak heran jika jumlah siswa IPS selalu lebih sedikit daripada siswa IPA. Berdasarkan data yang didapat dari salah satu situs SMA di Jember mengatakan bahwa kebanyakan siswa memilih jurusan IPA karena faktor gengsi walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, jurusan IPA dianggap lebih luas dari IPS, salah satunya jika hendak masuk perguruan tinggi dari jurusan IPA bisa mengambil jurusan IPS tetapi tidak berlaku sebaliknya. Entah dari mana pemikiran yang mengatakan IPS itu lebih  “sempit”. Sebenarnya antara IPA dan IPS memiliki peran masing-masing yang sangat penting bagi kehidupan. Tidak ada yang lebih baik diantara kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut, baik atau tidaknya tergantung dari individu masing-masing bagaimana kemampuan dan kemauan untuk belajar.
Jika dikaji lebih dalam, Ilmu Pengetahuan Alam lebih mengarah kepada kemampuan Hard Skill, sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial diarahkan untuk pengembangan Soft Skill. Menurut L.H. Clark (1983) bahwa titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatan interaksi antar manusia, dan diarahkan agar dapat menjadi manusia yang produktif dan dapat berkontribusi dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, Arthur G. Binning dan David H. Binning (1982) mengatakan bahwa studi sosial adalah mata pelajaran yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan organisasi masyarakat manusia dan manusia sebagai anggota dari kelompok sosial.

Berdasarkan pernyataan tersebut, telah jelas bahwa studi sosial sangat erat kaitannya dengan soft skill sebagai salah satu kemampuan manusia yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Sosial adalah perpaduan dari berbagai ilmu sosial, yaitu sejarah, geografi, antropologi, ekonomi, politik dan psikologi sosial (Prof. Nasution, 1975).
Tanpa disadari sebenarnya Ilmu Pengetahuan Sosial sudah mencakup seluruh aspek dalam kehidupan terutama dalam konteks lingkungan sosial, dan sedikit menyinggung aspek lingkungan dalam kajian ilmu geografi yang notabene tergolong ke dalam Ilmu Pengetahuan Sosial. Manfaat lain dari IPS adalah bagi perencanaan dan pembangunan wilayah. Seringkali masyarakat mendefinisikan pembangunan merupakan pembangunan fisik yang terlihat jelas secara konkrit. Padahal jika mengkaji makna pembangunan lebih dalam, dapat didefinisikan bahwa pembangunan adalah suatu upaya untuk merubah keadaan yang tidak ada menjadi ada, kecil menjadi besar, tertinggal menjadi maju dan sebagainya yang diartikan secara dinamis untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nugroho dan Rochmin Dahuri (2004).
Berbicara soal pembangunan, tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi atau aspek fisik saja. Perlu juga memperhatikan aspek sosial untuk mengetahui dampak sosial apa yang akan berpengaruh dan mempengaruhi dalam pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa studi sosial mencakup semua bidang yang berkaitan dengan sosial. Termasuk didalamnya adalah manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam pembangunan.
Manusia sebagai subjek memiliki peran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan. Sedangkan manusia sebagai objek merupakan sasaran pembangunan, dalam hal ini dapat dicontohkan seperti program pengembangan masyarakat.
Pengembangan masyarakat adalah sebuah proses terencana dan terorganisir dan upaya yang memungkinkan orang memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan, sikap, dan keterampilan sehingga mereka dapat mengatur dan ikut serta dengan orang lain dalam upaya mengatasi berbagai masalah masyarakat. Pendapat ini dipaparkan oleh Gales (1981). Pengembangan masyarakat merupakan salah satu terapan dari Ilmu Pengetahuan Sosial yang mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat, dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pengembangan soft skill.
Dengan dilaksanakannya pengembangan masyarakat ini diharapkan mereka (masyarakat) tidak hanya mengetahui teori atau konsep saja, tetapi juga dapat menerapkannya dalam kehidupan dengan cara melibatkan diri langsung pada kegiatan-kegiatan sosial masyarakat.
Pendidikan formal saja tidak cukup untuk mengukur keberhasilan Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Nilai akademis bukanlah tolak ukur untuk mengetahui kemampuan siswa di lingkungan sekolah atau masyarakat yang lebih luas. Tidak ada seorang pun yang menanyakan nilai rapor atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) ketika terjun langsung di dalam kehidupan masyarakat. Nilai akademis tersebut biasanya hanya digunakan sebagai prasyarat untuk memasuki dunia kerja secara formal. Padahal disamping itu kehidupan bermasyarakat tidak kalah penting, bukan nilai akademis yang menjadi acuan melainkan norma-norma kehidupan serta kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Bukan pula gelar atau jabatan. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak memandang gelar atau jabatan, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana kontribusi terhadap kegiatan masyarakat dalam konteks pembangunan.
Perlu disadari bahwa dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah etis jika bersikap individualisme. Khususnya masyarakat di perkotaan yang begitu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga menyebabkan kurangnya interaksi sosial terutama di lingkungan tempat tinggal.
Harkat dan martabat bangsa tidak tercermin dari seberapa banyak masyarakat yang “pintar”, melainkan seberapa banyak masyarakat yang “sadar”. Pintar seringkali dikaitkan dengan pendidikan yang tinggi serta nilai akademis yang bagus. Banyak yang bercita-cita ingin sukses dan pintar, tetapi itu semua hanya menjadi asa belaka ketika biaya pendidikan yang mahal harus menghentikan mimpinya. Sehingga muncul persepsi bahwa pendidikan formal hanya dapat dirasakan oleh orang-orang “kaya” saja, maka tak heran jika banyak siswa putus sekolah karena tak sanggup membayar biaya sekolah. Kejadian semacam ini sering terjadi di daerah-daerah terpencil, tetapi tak sedikit juga siswa di daerah perkotaan yang putus sekolah.
Disadari atau tidak, persepsi tersebut justru merupakan upaya tersirat untuk membatasi kemampuan diri. Mereka yang putus sekolah seolah-olah memandang dirinya tak mampu menjadi pintar karena tak sanggup membayar biaya pendidikan yang dirasa mahal. Padahal untuk mencari ilmu sebenarnya tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu bisa didapat melalui apapun dan bagaimanapun, tidak harus dengan sekolah formal. Namun bukan berarti sekolah formal itu tidak penting, tetapi hanya ingin mengubah persepsi khususnya bagi mereka yang putus sekolah agar tidak pesimis untuk tetap melanjutkan dan mewujudkan cita-citanya.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa salah satu cerminan harkat dan martabat bangsa adalah seberapa banyak masyarakatnya yang sadar. Maksud masyarakat yang sadar disini adalah bukan hanya sadar secara fisik, tetapi sadar secara psikologis sosial. Kesadaran psikologis sosial erat kaitannya dengan kehidupan sosial dan bermasyarakat, karena manusia hidup di bumi saling ketergantungan dan tidak bisa hidup seorang diri. Maka dari itu, sangatlah penting melakukan interaksi sosial guna menjalin hubungan bermasyarakat untuk kelangsungan hidup. Perilaku sosial dapat menentukan seberapa besar tingkatan harkat dan martabat bangsa. Percuma saja berpendidikan tinggi tetapi tidak mendidik. Salah satu contohnya bisa dilihat di kalangan pejabat pemerintahan di atas sana, mereka yang melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah orang-orang pintar dan berpendidikan tetapi tidak mendidik. Hal ini membuktikan bahwa harkat dan martabat bangsa tidak tercermin dari orang “pintar” berpendidikan semata.
Beda halnya antara “berpendidikan” dan “mendidik”. Setiap orang bisa saja mengejar pendidikan setinggi-tingginya, tapi tidak semua orang bisa mendidik. Ini merupakan salah satu manfaat Ilmu Pengetahuan Sosial yang didalamnya menyajikan aspek-aspek penting dalam kehidupan atau dapat dikatakan sebagai “Ilmu Mendidik” bukan sekedar memberi materi.
Disinilah cerminan harkat dan martabat bangsa yang sesungguhnya, bangsa yang baik bukanlah bangsa yang berpendidikan tinggi, melainkan bangsa yang dapat mendidik dan mecerdaskan anak bangsa. Sehingga tidak perlu lagi beranggapan bahwa pendidikan itu mahal, karena semua orang berhak mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan berbagi ilmu dengan siapapun tanpa ada batasan secara formal.

*Karya Devki Firmansyah
*pernah dilombakan dalam kompetisi esai FIPS UPI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar