Namaku Deny, aku berasal dari kota di ujung
barat pulau Jawa tepatnya di Pandeglang, tapi sekarang tinggal di Jakarta. Aku
ini dikenal agak aneh karena hobiku jalan-jalan gak jelas. Itu memang benar,
aku suka jalan-jalan entah kemana tujuannya tapi aku sangat menikmati
perjalanan itu. Aku paling suka jalan-jalan naik bis.
Salah satu impianku adalah mengelilingi
kota-kota di pulau Jawa, tapi sampai saat ini masih banyak yang belum ku
sambangi mengingat kesibukan kuliah yang tak bisa ditinggalkan. Selama kuliah
di Jakarta aku lebih sering jalan-jalan ke timur hingga Banyuwangi. Tapi sejauh
apapun aku melangkah tetap aku lebih senang mengunjungi tanah kelahiran.
Maka dari itu, aku ingin sekali melakukan
penelitian untuk tugas akhirku di kampung halaman. Seperti kata pepatah “sambil
menyelam minum air”. Tapi lokasi penelitianku ini beda desa dengan tempat
tinggal orang tuaku, lumayan jauh.
Untuk melakukan penelitian disana tentu harus
memiliki izin terlebih dahulu dari pemerintah setempat. Dalam hal ini aku perlu
izin ke camat daerah penelitianku di desa yang jaraknya 30 kilometer dari
rumahku.
Awalnya perizinan ini aku ingin urus sendiri
tapi aku teringat temanku orang batak namanya Joni Situmorang, ia ingin sekali
berkunjung ke kampung halamanku. Makanya aku ingin ajak dia sekalian untuk
perizinan ini, kebetulan jadwal kuliahku tidak begitu padat.
Esoknya aku bergegas menemui Joni di kampus,
karena jurusan kami beda jadi harus menyesuaikan waktunya. Aku bertemu
dengannya di kantin kampus selepas jam makan siang.
“Jon, ikut aku jalan-jalan yuk” ajakku dengan
semangat.
“Jalan-jalan kemana bro? Aku lagi banyak
kerjaan ini” jawabnya datar.
“Ke kampungku Pandeglang, sekalian buat
penelitianku Jon” aku berusaha meyakinkannya.
“wah serius kau Den??” jawabnya penasaran.
“iya serius, tapi kita tujuannya ke Labuan,
lumayan jauh sih dengan rumahku” Jelasku dengan rayuan.
“Hmmmm.. yasudah nanti aku kabari lagi, akhir
bulan ini soalnya. hehe” ucapnya mulai terpancing ajakanku.
Setelah itu aku lekas pamit dan kembali ke
perpustakaan karena masih ada keperluan. Aku harap ia mau menerima ajakaku tadi
karena sekalian aku ingin mengenalkan tanah kelahiranku kepadanya, walaupun aku
sendiri belum pernah ke kampung halamannya di Sibolga.
Keesokan harinya aku dapat sms dari Joni,
karena perpustakaan libur jadi aku tidak ke kampus.
“Den, aku terima ajakanmu deh, tapi kalau bisa
biayanya diminimalisir yaa. Hehe” begitulah isi smsnya. “Oke tenang aja Jon”
jawabku meyakinkannya.
“terus kapan kita berangkat?” tanyanya.
“besok lusa kita ketemuan aja Jon di kampus
sekalian kita ngobrol lagi”. “Oke deh” jawabnya melalui sms.
Dua hari berlalu menunggu kabar dari dosen,
katanya hari ini beliau baru pulang dari luar kota. Tapi aku sudah ada janji
dengan Joni jam 4 di kantin.
Hufftt..
Baru saja diomongin, akhirnya datang juga.
Bukan dosennya yang datang tapi smsnya yang datang. Begini isinya “maaf saya
hari ini tidak bisa ke kampus karena pesawatnya delay. Mohon datang ke ruang
saya besok pagi. Thx”.
Dari jam 2 aku nunggu malah pak dosennya ga
jadi datang, fiiuuh. Yasudahlah aku langsung take off ke kantin saja sambil nunggu si Joni.
Tak lama kemudian si Joni datang, padahal baru
jam setengah 4. Ia memang dikenal sebagai anak yang rajin, dan tak pernah telat
kuliah sekali pun tapi kadang suka mudah kesal dan agak keras, mungkin karena
dia orang batak.
“Udah lama nunggu kau?” tanya Joni mengawali
pembicaraan.
“Enggak kok, baru aja.. tadi dari ruang dosen
langsung kesini” jawabku enteng.
“Ohh gitu.. oh ya, jadi kek mana ini besok berangkatnya?” tanyanya
lagi dengan penuh antusias.
Aku pun menjelaskan panjang lebar kepadanya
tentang rencana penelitianku dan tujuanku besok untuk mengajukan perizinan ke
pak Camat. Aku tak menjanjikan dia bisa mampir ke rumahku karena aku khawatir
tidak cukup waktunya dan kebetulan besoknya ada acara di kampus.
Seusai makan dan ngobrol-ngobrol dengan Joni,
kami berdua lekas pulang karena waktu sudah hampir maghrib.
Keesokan harinya sesuai rencana aku menemui
dosen untuk membahas lebih lanjut tentang rencana penelitianku ini. Awalnya pak
dosen sempat pesimis tapi karena keyakinanku akhirnya beliau menyetujui dan
membuatkan surat izin untuk diberikan kepada staf kemahasiswaan kampus.
Alhamdulillah tanpa basa-basi dari pihak kampus langsung menyetujui dan
memberikan surat pengantar.
Tak lupa aku kabari Joni berita baik ini, dan
memberitahunya jika akan berangkat besok dan kebetulan dia tidak ada jadwal
kuliah.
---keesokan harinya---
Perjalanan dimulai jam 7 pagi dengan
menggunakan bis ekonomi dari Kalideres. Joni sudah menungguku sejak jam 6 pagi
katanya sekalian sarapan bubur dulu di terminal. Kami segera naik bis yang
mulai penuh bahkan ada yang berdiri, untung saja kami dapat tempat duduk di
baris ketiga sebelah kiri.
Selama perjalanan sampai menjelang Tugu ‘Selamat
Datang’ Pandeglang kami lalui dengan lancar. Tugu itu dihiasi dengan dua unit
patung badak yang menjadi ikon kota santri ini. Joni terkesima melihat patung
badak itu, ia baru pertama kali datang kesini.
“Kok ada badak Den? Itu kan hewan
dilindungi..” tanya Joni dengan logat bataknya.
“Itu lambang kebanggaan kota Pandeglang Jon,
kamu tau kan Ujung Kulon?” jawabku
“Oh iya aku tau, hehe. Aku taunya Ujung Kulon
itu di Banten, tak tau daerahnya” pungkasnya.
“Tapi katanya daerah ini masih tertinggal
Den?” lanjutnya lagi.
“Hmmmm, coba kamu perhatikan kondisi bis yang
kita tumpangi ini, kamu amati deh gimana orang-orangnya, nanti kamu tau”
jawabku.
Bis yang kami tumpangi ini melaju kencang
menuju Labuan, kecamatan di pesisir pantai paling barat dimana trayek bis ini
mengakhiri perjalanan. Sesekali bis berhenti untuk menaikkan atau menurunkan
penumpang. Joni pun mengamati keadaan di dalam bis dan sesekali menengok ke
jendela kaca bis.
“Ayo bu, masih kosong..” teriak kernet bis sambil
melambaikan tangannya di ujung pintu depan.
“Hah? Gila ‘kali itu kernet, sudah penuh gini
dibilang kosong? Dia kira kita ikan sarden?” kata Joni mulai kesal.
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Joni yang
kesal itu. “Ya beginilah Jon, bisnya ga mau rugi” kataku menenangkan.
Akhirnya Joni pun memaklumi keadaan di dalam
bis yang pengap ini. Tak lama pak kondektur menagih ongkos kepada penumpang
sembari menahan goyangan karena jalan yang kami lalui ini rusak parah.
“Kemana kang?” tanya kondektur kepadaku.
“Labuan kang” jawabku sembari menjulurkan
selembar uang bergambar presidan pertama kita.
“Ini kembaliannya” kata sang kondektur.
Tapi aku kaget, hanya menerima kembalian
selembar uang warna hijau alias 20 ribu. Padahal biasanya ongkosnya 25 ribu,
jadi kalau berdua berarti 50 ribu dong.
Lantas si kondektor hanya menjawab singkat
“akhir pekan kang”.
“bang, apa ada aturannya kah menaikkan tarif
di akhir pekan?” teriak Joni yang mulai kesal lagi.
“Kalau kamu ga mau yasudah turun sini aja,
jangan ngotot!” kata si kondektur dengan nada tinggi.
“Sombong ‘kali kau jadi kondektur!!!”
Kekesalan Joni mulai memuncak. Sontak keadaan di dalam bis jadi tegang, semua
penumpang melihat ke arah kami. Namun si kondektur itu pura-pura tidak
mendengar teriakan Joni dan berlalu menagih penumpang lainnya.
“Sabar Jon, tak apalah ikhlaskan saja..” aku
berusaha menenangkan.
Aku juga sebenarnya agak kesal dengan kelakuan
kondektur itu, sudah pengap malah naik pula ongkosnya. Hufft.
Tapi aku berusaha sabar dan menenagkan Joni.
Aku sendiri sudah biasa naik bis ini, tapi aku kasihan dengan Joni yang sudah
kesal dan keringatnya mulai bercucuran karena saking panasnya di dalam bis ini.
Tak sampai satu jam kemudian akhirnya kami
sampai di terminal Labuan, tempat pemberhentian terakhir bis bobrok ini.
“Makasih banyak bang, moga duitnya awet sampe
mati!!” kata Joni ketus kepada kondektur tadi sembari turun dari bis. Namun si kondektur hanya terdiam tanpa
menghiraukan ucapan si Joni.
Ternyata kekesalan kami belum berakhir, tak
lama kami melangkah langsung diserbu para calo terminal.
“Kamana kang? Cibaliung, Cikeusik, Picung?”
tanya salah seorang calo sambil berusaha merebut tas kami.
“Ke lauuut” jawab Joni ketus dan penuh percaya
diri. Akhirnya para calo tadi meninggalkan kami entah takut atau apa, mereka
langsung menghampiri penumang lainnya yang baru turun dari bis.
“Den,
kok kek gini ya orang-orangnya? Ga beda jauh dengan Jakarta”. Tanya Joni
kepadaku penasaran.
“Ya begini lah, kan sudah ku bilang harus
sabar.. hehe” jawabku dengan sedikit canda.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir
dulu ke warung makan di seberang terminal. Aku sendiri sudah mulai lapar karena
tadi pagi sebelum berangkat hanya makan roti.
Satu piring nasi rames ku pesan lengkap dengan
lauk ayam bakar dan sambal honje yang merupakan sambal khas Pandeglang.
Sedangkan Joni hanya memesan mie rebus.
“Honje itu apa Den? Baru dengar aku” tanya
Joni.
“itu sejenis tanaman umbi-umbian yang banyak
ditemui disini, biasanya ya dibuat untuk campuran sambal seperti ini” jawabku
sambil menunjuk sambal yang siap saji di hadapanku.
Saking penasarannya, si Joni memesan sambal
honje dan mencampurkannya ke dalam mangkuk mie rebusnya.
“Hah? Kamu ini ada-ada saja Jon, ntar sakit
perut loh..ckck” aku terkejut
“Bodo amat lah, pusing ‘kali aku pengen makan
yang pedas” kata Joni sambil menuangkan sambal ke mangkuknya.
Segelas teh tawar mengakhiri acara ngawadang
alias makan menjelang siang kali ini. Setelah merasa kenyang kami memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan.
Tujuan kami adalah menemui pak Camat, kami
mendapatkan informasi rumah pak Camat dari ibu penjaga warung makan tadi.
Katanya cukup jalan kaki saja tak sampai satu kilometer. Kami tidak ke kantor
camat karena sedang direnovasi sejak dua minggu lalu. Sebelumnya aku sudah
pernah menghubungi beliau katanya kalau ada perlu langsung ke rumah saja,
kebetulan sekarang hari sabtu jadi kemungkinan beliau ada di rumah. Tapi aku
tidak mengabari kalau akan datang sekarang karena nomor kontaknya di hpku
terhapus.
Langkah demi langkah kami lalui menyusuri
jalanan rusak di bawah teriknya matahari. Hampir satu jam kami jalan kaki tapi
belum sampai juga. Tepat di depan sekolah SD kami berhenti sejenak karena Joni
merasa sudah capek.
“Den istirahat dulu yuk, aku sudah capek ‘kali ini.. huuh.” Ucap Joni terengah-engah.
Tak sampai lima menit kami duduk-duduk, si
Joni malah jajan katanya lapar lagi. Kebetulan di depan gerbang sekolah banyak
penjual makanan.
“Bang, ini makanan apaan?” tanya Joni kepada
salah satu pedagang sambil menunjuk kue berbentuk kotak warna putih.
“Ini namanya kue balok kang” kata si penjual.
“Den, pantes aja orang Banten kuat-kuat,
makannya aja balok kek gini. Haha” kata Joni kepadaku dengan canda sambil
mencicipi kue yang terbuat dari olahan singkong itu.
Tiba-tiba bel sekolah berbunyi
“teeeet...teeeet...teeeett” tandanya pulang. Bocah-bocah imut mulai berhamburan
keluar gerbang sekolah. Ada yang lari, ada yang sambil makan cilok, ada yang nyeker
dan ada pula yang dijemput orang tuanya.
Kami tak tahu apakah perjalanan ini masih
panjang atau tidak, rasanya tidak satu kilometer untuk sampai ke rumah pak camat.
Akhirnya kami putuskan untuk bertanya kepada salah seorang bapak yang sedang
menunggu anaknya. Penampilannya sederhana, dengan kaos oblong putih dan sendal
jepit swallow warna biru.
“Maaf pak, rumah pak camat di sebelah mana ya?
apakah masih jauh dari sini?” tanyaku kepadanya.
“Oh tidak kang, itu tinggal masuk gang disana,
terus nanti di ujung gang ada rumah warna kuning. Itu rumahnya” jawab bapak itu
sambil menunjuk gang di seberang sana. Tak lupa ku ucapkan terima kasih dan
pamit kepadanya.
Dengan semangat 45 aku dan Joni berjalan
menuju rumah pak camat, lingkungannya agak kumuh, selokan di pinggir gang
banyak plastik yang menyumbat alirannya.
Terlihat dari ujung sana sebuah rumah warna
kuning, aku yakin itu rumah pak camat. Setelah mendekat dan tepat di depan
pintu rumahnya kami ucapkan salam.
“Assalamualaikum..” dengan sedikit jeda kami
mengulangi salam sampai tiga kali tapi tak kunjung dijawab juga.
Karena tak ada jawaban maka kami menanyakan
kepada salah seorang anak kecil yang baru pulang sekolah yang kebetulan lewat
depan rumah pak camat.
“dik, pak camatnya kemana ya?” tanya Joni.
“pak camat lagi naik haji kak, baru tadi malam
berangkatnya” jawabnya polos.
“Hah?? Beneran dik?” aku dan Joni sontak
terkejut.
Aku heran mengapa bapak yang tadi tidak
memberitahu kami kalau pak kades sedang tidak ada. Ah mungkin beliau bukan asli
orang sini.
Mungkin ini kesalahanku juga karena tidak
menghubungi pak kades sebelumnya, karena nomor kontaknya terhapus.
Sejenak kami terdiam kaku di teras rumahnya,
“Udah capek-capek gini malah yang dituju tak
ada orangnya. Huuh” Joni menggerutu.
“maafkan aku Jon, ini benar-benar diluar
dugaan..” tentu aku merasa bersalah karena telah mengajaknya berjalan sia-sia
seperti ini.
“Hmmmm.. tak apa lah Den, aku senang bisa
kesini, sekarang aku jadi tahu lebih banyak tentang pelosok Banten ini.
Walaupun sempat kesal tapi aku nyaman disini, orang-orangnya tidak sekeras di
kampungku” Joni berusaha mencairkan suasana sambil melihat-lihat keadaan
sekitar.
Ia melanjutkan perbincangan dengan cerita
kisah hidupnya. Joni memang berasal dari keluarga elit, ia baru kali ini
merasakan sensasi perjalanan seperti ini. Biasanya ia pulang ke kampung
halamannya di Sumatera sana dengan pesawat dan selalu dijemput ayahnya.
“Syukurlah
kalau begitu Jon, aku ikut senang. Tak apa lah nanti bulan depan aku kesini lagi
sendiri” kataku sambil menepuk bahu Joni.
“jangan lah kau begitu, ajak aku lah kalau
kesini lagi..” ternyata Joni mulai tertarik dengan suasana disini.
“serius kamu Jon??” tanyaku heran.
“iya lah aku serius!” Joni meyakinkan dengan
senyuman khasnya dan menepuk bahuku.
Aku senang kalu Joni tertarik kesini lagi, aku
kira dia akan menyesal ternyata dugaanku salah, mungkin ini hal yang baru
baginya.
Tak terasa hari mulai gelap, akhirnya kami
memutuskan untuk pulang ke Jakarta lagi dengan menggunakan bis yang sama
seperti tadi pagi. Kali ini Joni hanya tertidur lelap sepanjang perjalanan
pulang, begitupun denganku mungkin karena murasa sudah capek. Kami tidak jadi
pulang ke rumah, mungkin lain kali saja karena masih ada urusan di kampus
besok.
Tepat jam 9 malam kami tiba di terminal
Kalideres, tujuan akhir bis yang kami tumpangi ini. Tak lupa kami mampir dulu
di warung makan di depan terminal untuk makan malam. Setelah itu aku pamit
pulang terlebih dahulu sedangkan Joni menunggu jemputan temannya.
Sungguh pengalaman yang tak terlupakan bagiku.
Pergi ke suatu tempat yang cukup jauh dan harus balik lagi hari itu juga,
karena tujuanku kesana untuk menemui pak camat, bukan yang lain. Tak mungkin
aku menunggu sampai beliau pulang haji. Semoga saja perjalanan tadi bukan
perjalanan sia-sia khususnya bagi si Joni yang baru pertama kali kesana.
Kini aku kembali dengan rutinitasku di kampus
dan mengabarkan kepada pak dosen bahwa penelitianku harus ditunda, dan beliau
pun memakluminya.
*karya Devki Firmansyah
[original]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar