Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumberdaya alam. Berbagai jenis potensi kekayaan alam
dapat kita temui di seluruh penjuru negeri ini. Namun sayangnya kekayaan
sumberdaya alam tersebut tidak mengangkat jati diri Indonesia sebagai negara
maju. Indonesia masih bergantung kepada beberapa negara di Asia maupun di luar
Asia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Misalnya saja beras yang merupakan kebutuhan
pokok masyarakat Indonesia.
Secara geografis
hampir di seluruh tanah di Indonesia sangat potensial untuk lahan pertanian,
terutama di pulau Jawa dan Sumatera yang memiliki karakteristik tanah subur
karena dilalui jalur gunung api aktif. Tetapi hingga saat ini Indonesia masih
mengimpor beras dari negara-negara tetangga seperti Vietnam yang berkontribusi
besar terhadap pemenuhan kebutuhan beras di Indonesia.
Mengapa negara kita
yang notabene negara agraris harus mengimpor beras? Apakah tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangan nasional secara mandiri?
Pertanyaan seperti
itu sering muncul di benak masyarakat terlebih bagi mereka kalangan menengah ke
bawah yang amat “kritis” terhadap kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang
dirasa tidak pro rakyat.
Kembali pada
pertanyaan di atas. Logikanya cukup sederhana, Indonesia tidak akan mengimpor beras jika telah mampu
memenuhi kebutuhan beras nasional secara mandiri. Artinya, impor beras
dilakukan karena Indonesia dirasa sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi semua
kebutuhan beras bagi sekitar 240 juta jiwa yang tersebar di seluruh wilayah di
negeri ini.
Berdasarkan data
yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2011 Indonesia memproduksi gabah
kering giling sebanyak 65.757.000 ton yang
berasal dari padi sawah maupun padi
ladang. Produksi beras berdasarkan prediksi adalah sekitar 63 % dari produksi
Gabah Kering Giling (GKG), maka produksi beras Indonesia pada tahun 2011 adalah
41.426.910 ton.
Konsumsi beras rata-rata
penduduk Indonesia pernah menembus angka 152 Kg perkapita pertahun, sedangkan
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 menurut perkiraan BKKBN yaitu 241
juta jiwa. Jika mengambil nilai konsumsi tertinggi per kapita per tahun, maka
konsumsi beras penduduk Indonesia adalah 36.632.000 ton pada tahun 2011. Artinya
Indonesia mengalami surplus sebanyak 5 juta ton per tahun.
Perhitungan BPS dan
Kementrian Pertanian tersebut tidak semata-mata dapat dijadikan pijakan bagi
Bulog selaku badan yang mengurusi kegiatan logistik. Bulog mengatakan bahwa
perhitungan tersebut tidak akurat karena hanya dihitung tanpa mempertimbangkan
faktor lain seperti potensi gagal panen yang mungkin terjadi disebabkan oleh
bencana maupun iklim yang tidak menentu. Selain itu, laju konversi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian semakin meningkat. Terlebih di daerah
perkotaan dimana kebutuhan akan perumahan terus meningkat dan salah satu
dampaknya harus mengorbankan lahan pertanian. Hal ini penting diperhatikan agar
tidak ada kekeliruan dalam menghitung produktivitas pangan dan konsumsinya
terutama beras.
Kegagalan panen yang
dikhawatirkan oleh Bulog tidak dapat dihitung berapa jumlahnya atau berapa luasnya.
Alasan Bulog mengimpor beras adalah untuk mengamankan stok agar jika terjadi
gagal panen atau kemarau berkepanjangan stok beras nasional tetap aman dan
harga stabil. Walaupun berdasarkan perhitungan terdapat surplus beras yang
cukup besar, kebijakan impor beras untuk keamanan stok tersebut tidak
sepenuhnya dapat disalahkan. Hal ini dikarenakan data produksi dan konsumsi
pangan di Indonesia masih diragukan keakuratan dalam perhitungannya.
Kekeliruan dalam
perhitungan konsumsi beras yang mungkin tidak disadari adalah tidak adanya
perhitungan konsumsi beras berdasarkan usia. Sejauh ini data konsumsi yang
ditampilkan hanya secara umum saja dengan asumsi semua penduduk mengkonsumsi
beras dengan porsi yang sama. Padahal jika dikaji lebih lanjut, konsumsi beras
penuduk usia anak-anak tentu akan berbeda dengan konsumsi beras pada usia
dewasa. Belum lagi jika menghitung berdasarkan tingkat pendapatan penduduk,
konsumsi beras dua porsi sehari mungkin sudah cukup bagi mereka kalangan
menengah ke bawah untuk menyambung hidup.
Dalam hal ini, BPS
maupun Kementrian Pertanian tidak dapat melakukan generalisasi terhadap
kebutuhan beras di Indonesia, perlu melakukan klasifikasi berdasarkan
unsur-unsur demografi agar hasil perhitungan konsumsi beras lebih valid. Hal
ini dapat menjadi acuan ke depannya untuk mempertimbangkan kebijakan impor
beras dalam kurun waktu tertentu apakah benar-benar perlu impor atau tidak.
Selain itu, nasib
para petani khususnya petani kecil sangat perlu diperhatikan.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu harus memihak kepada
rakyat kecil dalam hal ini adalah petani. Rantai tata niaga yang panjang
menyebabkan petani tidak memperoleh keuntungan besar, begitu pun dengan
masyarakat yang harus membayar beras dengan harga lebih tinggi. Hasil pertanian
yang berupa gabah kering giling harus melalui mekanisme pasar yang rumit. Harga
gabah dari petani semestinya tidak bergantung pada harga internasional karena
tidak ada korelasinya dengan keuntungan petani dan kemampuan konsumen sehingga
akan memberatkan kedua pihak dan keuntungan besar hanya didapat oleh pemilik
modal atau mereka yang menjadi “bos”.
Tidak sedikit petani
di Indonesia yang bekerja namun bukan pada lahan miliknya, atau lebih populer
disebut petani gurem. Mereka hanya sebagai kuli untuk menggarap sawah
milik tetangga atau orang lain yang memiliki lahan dan modal. Lahan pertanian
ini belum tentu akan bertahan lama, karena pemilik lahan tersebut bisa saja
mengkonversinya untuk kegiatan lain. Nasib petani gurem ini tentu tidak
terjamin kesejahteraannya, karena sawah yang mereka garap keuntungannya bagi
pemilik lahan dan hanya sekian persen saja yang akan menjadi pengganti
keringatnya.
Persepsi masyarakat
mengatakan bahwa lahan pertanian tidaklah menguntungkan karena dianggap
tertinggal dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Maka tak heran jika banyak
lahan pertanian yang terkonversi menjadi lahan untuk kegiatan berbisnis yang
lebih kontemporer. Padahal lahan pertanian adalah sumber kehidupan bagi semua
orang terlebih bagi Indonesia dengan konsumsi beras tertinggi di Asia Tenggara.
Jika berkaca pada negara-negara maju di Eropa, justru lahan pertanian disana
sangat terawat dan bahkan pekerjaan bertani bukanlah hal yang asing.
Solusi unruk
menyelesaikan permasalahan pertanian di Indonesia sangat mungkin jika dikaitkan
dengan otonomi daerah. Setiap kepala daerah terutama memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan-kebijakan bagi daerahnya. Begitupun dengan kebijakan terkait
pertanian regional, perlu adanya insentif bagi daerah-daerah yang diperuntukkan
bagi lahan pertanian.
Otonomi daerah
sangat berperan dalam penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, serta keanekaragaman daerah dalam
sistem NKRI. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan amanat UUD 1945 dalam konteks
konstitusional maupun legal yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat baik melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat (Isran Noor, 2012).
Konsep otonomi
daerah tersebut dapat diimplementasikan ke dalam pemecahan masalah pertanian di
Indonesia yang menjadi salah satu perhatian pemerintah saat ini. Pemerintah
pusat tentu tidak dapat mengatur secara keseluruhan tanpa adanya dukungan dari
pemerintah daerah. Begitupun dengan pemerintah daerah yang perlu dukungan dari
pemerintah pusat. Keweangan kebijakan pertanian semestinya diberikan kepada
masing-masing pemerintah daerah karena sejatinya pemimpin daerah lebih paham
bagaimana karakteristik daerah yang dipimpinnya, termasuk pemahaman tentang
kondisi pertaniannya.
Sistem pasar dalam
pertanian di Indonesia sudah saatnya untuk diperbaiki. Nasib para petani di
daerah-daerah tertinggal khususnya perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah agar kesejahteraan mereka tidak terabaikan. Dalam konteks yang lebih
luas pemerintah dapat merubah mindset masyarakat terhadap pembangunan bahwa lahan
pertanian itu penting dan menjadi petani bukanlah pekerjaan yang tidak
menguntungkan.
Mungkin pernah
terpikir dalam benak kita bagaimana luas lahan pertanian di masa yang akan
datang dan siapa yang akan meneruskan mengelola lahan pertanian? Saat ini
jumlah petani yang berusia dibawah 30 tahun sangat sedikit dan semakin menyusut
jumlahnya, sebagian besar petani di Indonesia berusia diatas 40 tahun. Jika
jumlah petani terus menyusut setiap tahunnnya dan tidak ada generasi muda yang
meneruskannya, maka akan banyak lahan pertanian terabaikan dan terkonversi
menjadi lahan non pertanian yang dianggap lebih menguntungkan. Di negara maju
seperti Jerman, salah satu dari anggota keluarga diwajibkan menjadi petani dan
juga berlaku bagi keturunannya secara berkelanjutan. Hal ini merupakan salah
satu upaya untuk mempertahankan lahan pertanian, terlebih di negara dengan arus
globalisasi yang tinggi. lalu bagaimana jika diterapkan di Indonesia?
Pemerintah dalam hal
ini kepala daerah sebagai pembuat kebijakan harus segera mengambil langkah
untuk menyelesaikan permasalahan pertanian. Tidak perlu menunggu perintah dari
pusat yang belum tentu kepastiannya, karena setiap daerah telah diberikan
kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing dengan tetap memperhatikan batasan
dan kebijakan pusat agar tidak terjadi tumpang tindih. Jika dianalogikan
pemerintah pusat sebagai regulator dan pemerintah daerah dapat berperan sebagai
operator dalam konteks normatif. Ini merupakan salah satu kelebihan sistem
otonomi daerah dalam implementasi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
merata.
*karya Devki Firmansyah*
(original)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar